Dilema Dunia Pariwisata Indonesia

Dilema Dunia Pariwisata Indonesia

Di tengah pandemi, pemerintah memperbolehkan konser musik dan acara olahraga digelar dengan syarat sudah melakukan vaksin dan memiliki aplikasi Peduli Lindungi. Hal ini menjadi dilema terutama dunia pariwisata Indonesia karena tidak sesuai dengan larangan pemerintah untuk mudik atau mudik di hari raya Idul Fitri.

Pemerintah harus mempertimbangkan dengan cermat dampak pembukaan kembali bisnis pariwisata terhadap pandemi Covid-19. Meskipun penting bagi beberapa destinasi pariwisata yang terkena dampak buruk untuk memulai kembali perekonomian. Tanpa perhitungan yang cermat berdasarkan data yang solid, pembukaan kembali sektor ini dapat memicu lonjakan penularan virus corona yang tidak diinginkan. Pada pertengahan Maret lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan bahwa pariwisata di Bali akan dibuka kembali untuk wisatawan mancanegara pada bulan Juni dan Juli. Pada saat yang sama, pertunjukan musik dan olah raga akan mulai digelar secara bertahap di seluruh pelosok negeri. Memang beberapa event olahraga sudah digelar. Bagi perusahaan pariwisata, ini jelas merupakan kabar baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa melonggarnya batasan penting bagi perekonomian di daerah yang bergantung pada pariwisata untuk pendapatan. Banyak usaha kecil dan menengah yang terpukul parah ketika jumlah wisatawan menyusut. Lagipula, sektor tersebut memberikan kontribusi 4 persen bagi perekonomian, dan juga memiliki multiplier effect yang memperbesar kontribusinya menjadi 9 persen.

Namun ada kelemahan mendasar dalam kebijakan pemerintah untuk melonggarkan pembatasan pariwisata. Pertama, membuka kembali entitas pariwisata hendaknya tidak memasukkan sektor-sektor yang memicu keramaian massal. Keputusan pemerintah untuk mengizinkan konser musik dan bentuk hiburan lainnya, misalnya, perlu dipertimbangkan kembali. Kebijakan tersebut jelas kontradiktif dengan keputusan pemerintah yang melarang masyarakat mudik saat Idul Fitri di akhir bulan puasa. Dua kebijakan yang berseberangan satu sama lain bisa membuat publik beranggapan tidak ada koordinasi di antara para pembuat kebijakan.

Pemerintah juga harus memastikan mitigasi risiko yang tepat jika pembukaan kembali pariwisata memicu lonjakan penularan Covid-19. Oleh karena itu, kesiapan fasilitas kesehatan harus menjadi prioritas di dunia pariwisata, meskipun perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan dilema dan paranoia. Misalnya, kita perlu segera meningkatkan kemampuan sistem perawatan kesehatan untuk melacak orang yang kemungkinan terpapar Covid-19. Tanpa pengujian yang tepat dan kapasitas penelusuran, pembuat kebijakan tidak dapat membuat keputusan yang tepat kapan harus mengerem dan kapan harus menginjak gas sehubungan dengan kebijakan yang melonggarkan.

Singkatnya, sektor perhotelan dan tempat tujuan wisata terbuka adalah yang relatif aman untuk dibuka kembali lebih awal. Tentunya, pemerintah harus memastikan semua badan usaha mematuhi protokol  kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan. Mekanisme sanksi bagi pelanggar juga perlu ditegakkan.

Dalam situasi saat ini, menargetkan travel turis domestik lebih realistis. Jika Bali, katakanlah, bisa menarik 75 persen turis lokal yang suka jalan-jalan ke luar negeri, itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupkan kembali perekonomian mereka. Pada 2019, jumlahnya mencapai 11,69 juta orang dengan total belanja belanja US $ 11,32 miliar atau sekitar Rp165 triliun. Ini saja setara dengan 91 persen pendapatan Bali dari wisatawan internasional.

Di tengah pandemi, kesehatan dan ekonomi harus berjalan seiring. Kegagalan dalam mengelola salah satunya akan membawa malapetaka bagi banyak orang. Kondisi ini juga yang akhirnya membuat pagelaran MotoGP Mandalika harus mundur hingga 2022.