Upacara adat Sulawesi Tengah adalah tradisi budaya yang penting untuk dilestarikan. Ada Mekiwuka, upacara adat Sulawesi Utara, atau Rambu Solo, upacara adat Sulawesi Selatan yang paling populer. Ada juga Melluas, upacara adat Sulawesi Barat yang paling dikenal. Lalu apa saja upacara adat yang asli dari Sulawesi Tengah? Cari tahu di sini!
Upacara Adat Sulawesi Tengah
Ada berbagai upacara adat yang masih dipertahankan masyarakat Sulawesi Tengah hingga kini, berikut ini 7 di antaranya:
Malabot Tumbe (Banggai)
Dirayakan di Kabupaten Banggai Laut, Malabot Tumbe merupakan bagian dari Festival Tumbe. Upacaranya mencakup menjemput telur burung maleo pertama dari Kecamatan Batui, lewat Banggai Kepulauan, menuju ke Kerajaan Banggai. Selain sebagai simbol rasa syukur dari panen telur burung maleo, upacara ini juga menunjukkan betapa eratnya tali persaudaraan masyarakat Banggai.
Baliya Jinja (Suku Kaili)
Upacara yang satu ini sudah dilakukan Suku Kaili dari Sulawesi Tengah selama ratusan tahun. Jika ada anggota Suku Kaili yang mengalami penyakit tapi tidak bisa disembuhkan menggunakan cara medis, maka diadakanlah Baliya Jinja. Salah satu hal yang harus disiapkan adalah sesaji berupa tembakau, inang, dan gambir.
Upacara adat ini akan dipimpin oleh seseorang yang dipercaya sebagai dukun Suku Kaili. Ia adalah seseorang yang memiliki pemahaman baik seputar praktik dan kepercayaan tradisional. Prosesinya dilakukan dengan cara penderita dikelilingi oleh dukun, lalu upacara diiringi dengan musik menggunakan alat musik tradisional, seperti gong, seruling, dan tambur.
Nokolontigi (Suku Kaili)
Sebelum melakukan upacara pernikahan, Suku Kaili mengadakan upacara Nokolontigi di malam hari. Lokasinya di tempat tinggal pengantin perempuan, dulunya di rumah yang berbentuk rumah adat Sulawesi Tengah, tapi sekarang tentunya tidak diwajibkan.
Makna Nokolontigi adalah memberikan kekuatan pada calon pengantin agar bebas dari gangguan roh-roh jahat dan lebih siap dalam menikah dan mengarungi kehidupan bersama berdua. Nokolontigi juga menjadi bentuk doa agar pasangan suami istri akan hidup dengan saling berdampingan hingga maut memisahkan, panjang umur, dikaruniai keturunan, murah rezeki, dan diberkahi dengan hati yang tenang.
Mombine (Topo Da’a)
Suku Da’a atau Topo Da’a awalnya tinggal secara nomaden di kawasan hutan, meski saat ini sudah banyak yang memutuskan untuk menetap di dataran tinggi. Salah satu upacara adat asli suku ini adalah Mombine, yang wajib dilakukan oleh para perempuan suku Topo Da’a. Pada suku Topo Da’a Lekatu yang bermukim di Palu dan Kalora yang ada di Poso Pesisir Utara, Mombine rutin diselenggarakan setiap tahun.
Merupakan upacara adat turun-temurun dari pihak ibu, para perempuan yang akan melakukannya berkumpul dan acara akan diadakan secara besar-besaran. Ada banyak ritual Mombine yang disesuaikan dengan kebutuhan para wanita. Salah satunya adalah No Iama yang khusus dilakukan untuk ibu hamil cukup sekali saja, meski wanita tersebut beberapa kali hamil dan melahirkan.
Sementara itu, ritual Mombine lainnya adalah No Vati yang khusus diadakan saat anak perempuan memasuki usia baligh. Upacara adat Mombine ini waktunya tidak mengikat. Misalnya No Iama bisa dilakukan setelah sang ibu sudah melahirkan, tidak harus saat hamil. Begitu juga dengan No Vati yang tidak harus dilakukan begitu anak perempuan mengalami haid, yang penting dilakukan saat ia akan menikah.
Notamba (Topo Da’a)
Saat wilayah yang ditinggali suku warga Topo Da’a mengalami musim kemarau panjang sampai kekeringan, maka ada upacara adat khusus untuk mengatasi hal ini. Upacaranya disebut Notamba. Upacaranya merupakan ritual doa meminta hujan kepada yang maha kuasa agar turun hujan dua warga Topo Da’a mengalami kesuburan tanah, sehingga mereka bisa bercocok tanam dan melakukan panen.
Notamba tidak dilakukan secara rutin, melainkan tergantung dari kondisi cuaca saja. Karena merupakan ritual memohon hujan, maka tidak ada perayaan yang meriah seperti menyanyi dan melakukan tarian adat Sulawesi Tengah. Senjata tradisional Sulawesi Tengah juga tidak digunakan dalam upacara ini.
Upacara Kematian (Suku Kaili)
Saat ada anggota keluarga Suku Kaili yang meninggal, maka diadakan upacara kematian bernama No.-Vaino. Artinya adalah kebaikan orang yang meninggal akan diucapkan di dalam upacara. Upacara ini sejak awal merupakan perpaduan dari tradisi adat yang turun-temurun dan juga agama Islam.
Seiring dengan perkembangan jaman, unsur-unsur upacara yang kurang sesuai dengan agama Islam pelan-pelang dihilangkan. Tentu saja tidak semuanya, karena masih banyak yang dipertahankan dalam bentuk simbol-simbol untuk menghormati warisan leluhur Suku Kaili.
Upacara Panen (Suku Kaili)
Dinamakan Povunja atau Movunja, ini adalah upacara panen yang dirayakan Suku Kaili. Selain sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, upacara ini juga merupakan doa agar ke depannya juga dapat melakukan panen dengan berkah, sekaligus menolak malapetaka dan kesialan.
Dalam upacara mengucap syukur ini, jika dilangsungkan secara besar-besaran maka pengisi acaranya akan menggunakan pakaian adat Sulawesi Tengah. Ada pemain musik tradisional yang akan membawakan lagu daerah Sulawesi Tengah dengan tema bersyukur kepada Sang Pencipta dan leluhur.
Demikian pembahasan terkait upacara adat Sulawesi Tengah. Jangan lupa baca terus artikel tentang budaya lainnya hanya di kabarwisata.
Leave a Reply